Sabtu, 21 Januari 2012

ASAL USUL DESA PENGANJANG (SINDANG)

Alfaqih Warsono



Pada jaman dahulu ada seorang pemuda yang mempunyai keinginan untuk menjadi seorang pengembara. Pemuda itu bernama Jakatarub. Jakatarub adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap, gagah dan cerdas. Demikianlah pengembaraan Jakatarub dari waktu ke waktu ditempuhnya denga penuh ketenangan dan ketabahan, meskipun banyak mengalami rintangan. Jakatarub berasal dari Solo. Ia sampai ke Indramayu sebelum Syarif Hidayatullah menyebarkan agama Islam di Cirebon. Karena takdir yang Maha Kuasa, maka Jakatarub akirnya sampai ke suatu tempat yang menjadi kisah tak terlupakan, terutama bagi orang-orang Indramayu.

Nama asli Jakatarub adalah Ki Gede Kirom, sedangkan nama julukannya yaitu Ki Gede Penganjang. Ki Gede Kirom mempunyai beberapa nama panggilan, diantaranya yaitu:
1.    Ki Jakatarub
2.    Ki Gede Penganjang
3.    Ki Gede Laha, karena ia sebagai pembuat “laha” (perikanan).

Disebut Ki Jakatarub karena dapat melindungi masyarakat pada waktu itu. Sedangkan nama Ki Gede Penganjang karena mulai saat itulah ditinggalkannya anjang-anjang.

Di tempat pengembaraannya itu, Jakatarub menemui beberapa bidadari yang sedang bersuka ria sambil mandi di sebuah telaga yang bening airnya. Tempat itu bernama Sumur Krapyak. Melihat kejadian itu, Jakatarub berkeinginan untuk menyaksikan lebih dekat agar lebih jelas siapa bidadari-bidadari itu. Ia mulai mengintai dari balik pepohonan yang ada di sekitar sumur.

Setelah bidadari itu puas bermain, maka pulanglah mereka ke kahyangan (langit). Tetapi salah satu dari mereka itu tidak dapat terbang karena baju antrakusumanya hilang. Jakatarub senang melihat bidadari itu tidak dapat pergi. Ia sengaja menyembunyikannya dengan tujuan supaya bidadari itu mau dijadikan istri. Kemudian ia menegur dan membujuk bidadari itu agar mau dikawini. Setelah permintaan Jakatarub itu dipenuhi, maka sejak saat itu mereka menjadi sepasang suami-istri yang bahagia. Dari istrinya itu, Jakatarub dikaruniai seorang anak yang diberi nama Atasangin. Di Banten Jakatarub berputra seorang lagi bernama Ki Gede Bagong.

Pada suatu hari istrinya ingin pergi memandikan anaknya ke sungai. Pada waktu itu periuk (tempat menanak nasinya) masih diterpanggang di atas api. Sebelum pergi, bidadari Nawangwulan (istri Jakatarub) itu berpesan kepada suaminya agar sekali-kali tidak membuka tutup periuk itu. Tetapi sebaliknya, sang suami (Jakatarub) itu merasa penasaran akan rahasia di balik larangan tersebut dan ingin membuka tutup periuk itu. Setelah dibuka, terlihat di dalamnya ada padi yang masih bersatu dengan tangkainya.

Setelah sampai di rumah, istrinya tahu bahwa suaminya telah membuka tutup periuk itu. Ia berkata kepada suaminya dengan nada kesal, “Mas, mulai sekarang buatlah lesung (alat menumbuk padi) dengan alunya untuk menumbuk padi, karena padi itu tidak dapat ditanak denga kulit dan tangkainya sebab kau telah membuka tutup periuknya tadi.” Demikianlah si istri tiap hari mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Isi lumbung itupun makin lama makin sedikit hingga hampir habis.

Pada suatu hari si istri pergi mengambil padi lagi seperti biasa, tetapi dengan tak disangka-sangka ditemukannya baju antrakesumanya yang hilang. Mulai saat itulah Nawangwulan timbul keinginan utnuk kembali ke kahyangan. Jakatarub, sang suami, bertanya, “bagaimana dengan anak kita yang masih kecil dan masih menyusu ini? Apakah kau tega meninggalkannya?” “Ya apa boleh buat aku harus pergi,” jawab Nawangwulan, istrinya. “Untuk itu Mas harus membuat anjang-anjang yang dirambati tanaman labu putih. Jadi kalau anak kita ingin menyusu, letakkanlah anak itu di atas anjang-anjang. Kemudian bakarlah merang ketan hitam. Kalau saya mencium asapnya, saya akan turun ke bumi untuk menyusuinya.”

Demikianlah hal itu dilakukan oleh Jakatarub sampai anaknya besar dan tidak menyusu lagi. Itulah sebabnya sampai sekarang di Penganjang tidak boleh menanam labu putih dan menanam ketan hitam.


Sumber : Sejarah Indramayu dan Folklore Daerah Indramayu, hal: 313


English Version:

In ancient times there was a young man who has the desire to become a wanderer. The young man named Jakatarub. Jakatarub was a burly, handsome and intelligent. Thus, Jakatarub's odyssey from time to time, he passed a full premises calmness and fortitude, although many experience obstacles. Jakatarub came from Solo. He got Indramayu before Sharif Hidayatullah's  spreading Islam in Cirebon. Because of  the fate of the Almighty, then Jakatarub got to a place that became an unforgettable story, especially for people of Indramayu.
The original name was Ki Gede Jakatarub Kirom, whereas his nickname was
Ki Gede Penganjang. Ki Gede Kirom had several nicknames, among them were:
A. Ki Jakatarub
2. Ki Gede Penganjang
3. Ki Gede Laha, because he is as a maker of "laha" (fisheries).
It was called Ki Jakatarub because he could protect the public at that time. While the name Ki Gede Penganjang was because from that time the "ajang-anjang" was left behind.
In place of the wanderings, Jakatarub met some fairies who were rejoicing while bathing in a lake of clear water. It was called the Krapyak
Well . Seeing the incident, Jakatarub was eager to watch more closely in order to be more clearly who the maidens were. He began stalking through the trees surrounding the well.
After the angels were happy to play, then they returned to the heaven (sky). But one of them could not fly because her "antrakusuma" clothes was missing. Jakatarub was pleased to see the angel could not go. He deliberately hid it in order so that the angel would be his wife. Then he admonished and persuaded the angel  to marry him. After the request fulfilled Jakatarub's will, since then they became a
happy couple. Of his wife, Jakatarub was blessed with a child who was named Atasangin. In Banten Jakatarub begot another son, named Ki Gede Bagong .
One day she wanted to go to the river to bathe their children. At that time the pot (where he cooked rice) was still on the fire. Before leaving, the angel Nawangwulan (Jakatarub's wife) told her husband not to open the lid of the pot. But instead, the husband (Jakatarub) that was curious about the secret behind the ban and would like to open the pot lid. Opening it, he looked that the rice was with the stalks.
After  arriving home, she knew that her husband had opened the lid of the pot. He said to her husband in a tone of exasperation, "Mas, from now, make the mortar (a tool to pound rice) and the
pestle to pound rice, because rice can not be cooked with the skin and stalk. because you've opened the lid of pot last." That was his wife took the rice in the barn to ground every day the barn's contain and even then less and less until its was almost gone.
One day the wife went to pick up the rice again as usual, but  unexpectedly she discovered the lost
"antrakesuma" suit. From that time, she had the desire to get back to the heaven. Jakatarub, her husband, asked, "what about our kids who are still little and still nursing? Are you  heartful to leave him?" "Well, but I  have to go," replied Nawangwulan, his wife. "For that case, You have to make an arbor that are covered with white pumpkin plants. So if he wants to suckle, place him in the arbor. Then, please burn the black sticky rice straw. If I smell the smoke, I'll come down to the earth to feed him."
Thus it was done by Jakatarub to suckle her child and untill nomore. That is why until now it was not allowed to plant pumpkins and white and black sticky rice plant
in Penganjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar